Di Sumatera Selatan, geliat kelompok musik masa kini untuk kembali menggubah narasi tradisi lokal semakin marak. Dimulai dengan langkah Semakbelukar, kini muncul beberapa nama baru yang membawa semangat yang sama. Salah satunya adalah Candei, sebuah kelompok musik asal Muara Enim yang memainkan musik folk/melayu dengan muatan ekspresi kekinian.
Pada 13 Desember 2024, Candei merilis album mini bertajuk Self Titled melalui kerjasama dengan label rekaman Bahasa Ibu Records. Album mini ini terdiri dari lima lagu dengan syair berbahasa Melayu Besemah, yang merupakan bahasa dari suku Melayu Besemah yang mendiami wilayah Sumatera Selatan. Lagu-lagu dalam album ini antara lain "Ghimbe", "Sendari", "Titah Raje", "Cerite Baghe", dan "Tikate Tuwe".
Mini album Self Titled akan tersedia dalam format digital, serta rilisan fisik berupa compact disc dan vinyl, memberikan kesempatan bagi para penikmat musik untuk mengakses karya mereka dalam berbagai cara.
Candei awalnya terbentuk sebagai duo yang beranggotakan Fram Prasetyo (gitar akustik, vokal) dan Triwibowo S. P. (suling). Kelompok ini dibentuk untuk memenuhi undangan pertunjukan di kota Palembang, pada awalnya menggunakan nama Candei Banaspati. Saat itu, belum ada niatan untuk menjadikannya sebagai proyek musik jangka panjang. Sebagian besar anggota Candei juga aktif berkumpul di kolektif musik folk kota Palembang bernama Dangau Sesiar, yang merupakan rumah bagi kelompok musik seperti Hutan Tropis dan Diroad.
Berawal dari kekerabatan itulah, Candei secara resmi dibentuk dan mulai berkarya di kota Muara Enim pada tahun 2020. Kelompok Candei kini terdiri dari Fram Prasetyo (gitar akustik, vokal), Putra Kusuma (gitar akustik nilon), Syahlan Loebis (perkusi), Triwibowo S. P. (suling), dan Fajrin Ramadani (akordeon).
Seluruh syair dalam lagu-lagu Candei ditulis oleh Fram dalam bahasa Besemah. Menurut Fram, awalnya ia berencana menggunakan Bahasa Indonesia, namun rekan-rekannya mendorong untuk mengangkat bahasa daerah sebagai identitas. "Bahasa Besemah adalah bahasa asli saya," ujar Fram yang hingga kini menetap di daerah asalnya, Kikim, Kabupaten Lahat.
Formula musik Candei terinspirasi oleh Batanghari Sembilan, sebuah irama musik petikan gitar tunggal yang dipadukan dengan tradisi bertutur atau dikenal dengan nama Rejung atau Merejung. Tradisi ini memberikan warna khas dalam setiap karya mereka. Namun, Fram menjelaskan bahwa lagu-lagu Candei berbeda dari umumnya Rejung. "Secara tema, lagu-lagu Candei lebih personal dan kontemporer, respons pribadi saya yang resah akan politik atau kehidupan adat di desa," jelas Fram.
Setiap lagu dalam album mini Self Titled ini bercerita tentang tradisi yang menyimpang dan mengarah ke hal-hal negatif, sambil menyoroti pentingnya mempertahankan nilai-nilai budaya yang baik. Candei berharap album mini perdana mereka ini dapat menyentuh hati pendengar dan menggugah kesadaran akan pentingnya tradisi dan identitas budaya.
Dengan perilisan Self Titled, Candei mengajak semua untuk menikmati perjalanan musik yang penuh makna, membawa semangat untuk kembali mengangkat tradisi lokal dalam nuansa musik kekinian.
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar